Kamis, 28 Februari 2008

Poster Wali Kota Tangerang Tak Dikenai Pajak

Poster Wali Kota Tangerang Tak Dikenai Pajak

Kamis, 28 Pebruari 2008 17:24 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Poster bergambar Wali Kota Tangerang Wahidin Halim yang tersebar di sepanjang jalan ternyata tidak dikenai pajak. (baca selanjutnya klik www.tempointeraktif.com)

Listrik Padam Buruh Meradang


Listrik Padam Buruh Meradang

SUARA mesin hidrolik di unit cutting (memotong) ruang produksi PT Kenindo Tunggal Perkasa di kawasan industri Bonen Kav. 6 Cikupa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten menderu, bising kedengarannya.

Dari kejauhan terlihat sekitar 300-an buruh penerima order sandal Carvil tenggelam dalam kesibukan. Pagi itu cuaca mendung, bahkan disertai gerimis. Namun cuaca yang terasa dingin di kulit tak menyurutkan para buruh mayoritas perempuan untuk mengejar target produksi : 3.000 pasang sandal selama sembilan jam kerja.

Pabrik pengorder sandal berbahan spon (eva) itu memang tak hanya mengerjakan order 'Carvil' saja. Label lain yang digarap seperti 'Bata' juga sandal 'Convese' dan 'Spalding' yang diekspor ke Italia.
Saat ini pabrik yang berjarak 1 Km dari jalan Raya Serang KM 18,8 itu mengerjakan order lokal. Beruntung hari itu di pabrik tidak sedang digilir mati lampu, jadi mesin produksi bisa menderu hingga pukul 17.00 sore, saat para buruh lepas kerja.
Pekan lalu, PT Kenindo adalah salah satu dari sekitar 3.000-an pabrik anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang yang terkena pemadaman listrik.
"Kita tukar hari kerja, konsekuensinya kita memberikan uang tranportasi Rp 10.000 kepada setiap buruh sebanyak 400 orang yang sudah terlanjur masuk kerja,"kata Hasby Amazone, Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) kepada Tempo.
Amazone mengatakan dalam kurun waktu dua bulan terakhir tercatat empat kali listrik mati tanpa pemberitahuan dari PLN. "Kita hanya tahu dari media tapi kan secara umum, tidak tahu giliran kita kapan. Ini yang merepotkan.,"ujar Amazone.
Tukar hari kerja dimaksud adalah manajemen pabrik menukar hari kerja pada saat listrik mati dengan hari Sabtu. Namun kebijakan pabrik, jam kerja juga dikurangi menjadi 8 jam dari semula setiap hari kerja biasa Senin hingga Jumat sebanyak 9 jam kerja.
" Pada Sabtu, masuk kerja pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00,"kata Amazone.
Pada Selasa lalu, dirasakan betul dampak matinya listrik di pabrik itu. Ketika mesin produksi sudah start, tiba-tiba listrik mati. Otomatis pabrik memulangkan seluruh pekerja yang berjumlah 400 orang, 300 diantaranya menjalankan mesin produksi.
Otomatis produksi hari itu sebanyak 3.000 pasang sandal gagal, produksi pun hari itu distop. Tidak dipasangnya genset sebagi listrik cadangan di pabrik itu juga makin menghambat produksi. "Persoalnya dulu tidak pernah ada listrik mati,"ucap Amazone. Lalau listrik mati itupun karena di gardu induk mengalami penurunan tegangan dan hanya berlangsung sebentar.
Sejak tahun 2007 hingga 2008 ini listrik sering mati. Pemasangan genset selain di pabrik tidak tersedia lahan juga karena membutuhkan biaya yang besar serta sulitnya mendapat solar industri yang harganya terjangkau. "Untung kita yang semula 10 persen cuma 5 persen kesedot ke genset,"kata Amazone.
Pabrik pengorder sandal itupun hanya mengandalkan listrik PLN sebagai satu-satunya sumber tenaga untuk mengolah berpuluh ribu lembar spon menjadi sandal setiap harinya. Resikonya, begitu listrik padam maka pabrik tidak masimal berproduksi. Otomatis itu akan berpengaruh kepada pengiriman barang.
"Kalau lokal ada toleransi, tapi kalau pengiriman ekspor? ini yang menghambat,"ujar Amazone.
Buntutnya pabrik merugi ratusan juta rupiah. Apalagi kalau listrik padam pada saat puncak produksi pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Solusinya? Amazone hanya bersikap pasrah, "kembalikan ke pemerintah,"katanya.
Buruh juga merasakan dampak listrik mati membuat aktivitas kerja terganggu. "Listrik mati merusak acara, kita libur Sabtu dan Minggu. Liburan sudah direncanakan bersama keluarga, tapi mau nggak harus kerja sebagai ganti hari saat listrik padam,"ujar Diki, pekerja mekanik di PT Kenindo.
Sama dengan Diki, Juni, kepala bagian finishing di bagian produksi PT Kenindo juga mengakui hal itu. "Kita kehilangan ongkos, tapi masih untung pabrik menggantinya,"kata Juni.
Juni mengaku setiap hari mengabiskan Rp 12 ribu. Biaya itu dikeluarkan dari kantongnya untuk membayar ongkos angkutan kota pulang-pergi dari rumahnya Rp 8.000 dan sisanya Rp 4.000 untuk makan siang.
Sekretaris Apindo Kabupaten Tangerang Juanda Usman secara terpisah menyatakan pihaknya berencana melayangkan surat kepada PLN. Pasalnya tindakan yang dilakukan perusahaan listrik itu bukan kali pertama melakukan pemadam listrik tanpa kejelasan. "Ada yang diberitahu ada yang tidak,"kata Juanda.

Juanda menyebut sekitar 3.000 pabrik merugi milyaran rupiah akibat produksi tergangu."Apa PLN mau menanggung itu semua?"katanya.(Ayu Cipta)

Rabu, 27 Februari 2008

Warta Berita Tangerang

70 Persen Warga Tangerang Tak Gunakan Jamban
Rabu, 27 Feb 2008 17:20 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang mendata 70 persen warga Kabupaten Tangerang yang tersebar di 36 kecamatan tidak menggunakan jamban (kakus) untuk membuang hajatnya.
Kebanyakan warga yang tidak menggunakan jamban tinggal di dearah pantai utara (pantura). Memang ada warga yang sudah memiliki jamban di rumah, tetapi memilih membuang hajat di kebun.
Menurut Kepala bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, dokter Yuliah Iskandar kepada Tempo di kantornya, Rabu, (27/2), sejak tahun 2007 Dinas Kesehatan telah melakukan pendataan warga yang tak memiliki jamban.
Pemerintah Kabupaten Tangerang pada 2007 telah membangun sebanyak 70 unit jamban di 10 kecamatan tiga diantaranya di Kecamatan Teluknaga, Pakuhaji dan Rajeg. Untuk tahun ini akan dibangun sebanyak 80 unit jamban. Ini untuk mendorong masyarakat tidak membuang tinja di sembarang tempat. Dinas Kesehatan, ujarnya, juga akan membangun bibir sumur warga.
"Warga di daerah pantura kebanyakan memiliki sumur tanpa bibir, jadi sejajar dengan permukaantanah,"ujar Yuliah.
Akibatnya ketika hujan turun tinja yang dibuang warga di kebun tersapu air dan meresap ke dalam sumur. Sehingga, angka penderita diare cukup tinggi di daerah ini. (Ayu Cipta)
(bisa ditengok pula di www.tempointeraktif.com)

Warta Budaya dan Sastra

Warta Budaya dan Sastra

Pameran Lukisan 27 Perupa
Dua puluh tujuh (27) perupa ambil peran dalam pameran lukisan di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang 28 Februari-3 Maret 2008. Dalam rangka ulangtahun ke-15 kota industri ini, ke-27 pelukis meramaikannya dengan memajang karya bertajuk 'Nuansa Damai Dalam Goresan'.
Menurut cacatan saya, tak ada yang baru dalam lompatan estetis teman-teman pelukis ini dari cerita lama lukisan mereka yang kerap digelar di Tangerang. Saya juga melihat tak ada tema kecil atau kekhasan yang diusung.
Kalau boleh saya mengatakan, pameran ini sekadar 'nimbrung' memeriahkan hari ulang tahun saja. Dan maaf jika kukatakan untuk membuat Pak Wali Kota senang, tersirat atau tersurat bukti rasa senang itu dengan ditampilkannya wajah sumringah Pak Wahidin Halim pada leaflet peserta pameran.
"Mau pilkada layak untuk bernuansa damai,"ujar Kaunang, pegawai pemda yang ikut menggagas acara pameran.
Terlepas dari semua sangkaan, pameran itu layak untuk dinikmati syukur-syukur dibeli. Membeli bukan karena rasa senang terhadap lukisan saja tetapi juga sebuah penghargaan terhadap karya.
Salut saya untuk Mas Lilik Subekti yang semangat berpameran. Kangen saya untuk Bunda Lasmi Ebby Jauhari yang setelah melihat tiga lukisan cat air Bunda sejuk nian hati ini. Saya sangat terpukau dengan 'Romantisme Jingga' karya Bunda lho.
Juga pelukis yang lain, ada Sholeh Pati. Meski serem karya lukisnya tetapi toh menggoda untuk tetap sedap dipandang. Pun yang lain sekali lagi selamat dan sukses. Salam super dahsyat: Ayu Cipta

Selasa, 26 Februari 2008

Warta Budaya dan Sastra

Tangerang Art Festifal (TAF)

Dipublikasikan di Tempointeraktif

TANGERANG--Hari ini Tangerang Art Festival 2005 Dibuka

Senin, 21 Pebruari 2005 10:10 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Tangerang Art Festival 2005 (TAF) dibuka hari ini, Senin (21/2), oleh Wali Kota Wahidin Halim. Acara itu akan berlangsung selama sepekan lebih dalam rangka memeriahkan HUT Kota Tangerang yang jatuh pada 28 Februari. Mengambil tema "Genderang Kesenian Tangerang", TAF akan mengusung banyak kegiatan seni baik tradisi maupun modern.

Ketua Umum DKT, Wowok Hesti Prabowo menyatakan TAF merupakan acara tahunan untuk menggairahkan kehidupan seni budaya di Kota Tangerang. Pembukaan akan dimeriahkan pertunjukan perkusi Rampak Bedug.

Yang menarik dari sejumlah rangkaian kegiatan adalah Tari Cokek yang akan diselenggarakan di sebuah rumah kawin di daerah Selapajang, Neglasari, Kota Tangerang. Selain mentradisikan tari Cokek, kegiatan lainnya berupa pameran foto Brull Nasrullah dan Wilson Tjandinegara di Padepokan Seni Eksis Cipondoh.

Sementara itu bertempat di Balai Budaya, Cikokol juga akan dilangsungkan pameran karikatur karya MW Fauzi.Pameran lainnya adalah pameran topeng dari Komunitas Kuku Semar dan pameran lukisan 50 perupa Tangerang. Serta kegiatan berupa pertunjukan teater Poros di Gedung Kesenian Tangerang di jalan masjid Al-Hidayah kompleks Modern Land.Ayu Cipta

Warta Budaya dan Sastra


Dimuat di Republika//Minggu, 02 April 2006
Mengayuh Seni di Kota Industri

Festival seni bertajuk Tangerang Art Festival (TAF) 2006 baru saja berlalu. Tapi, festival seni-budaya yang lebih besar, Festival Cisadane 2006, sudah mulai dipersiapkan. Festival yang biasa digelar di sepanjang sungai dan tepian kali Cisadane, yang membelah kota Tangerang, itu akan digelar Mei 2006.

Meskipun dijuluki sebagai kota industri, dan kota petro dolar, Kotamadya Tangerang tidak pernah sepi dari kegiatan kesenian. Ini, menurut beberapa aktifis seni setempat, karena kepedulian Walikota Wahidin Halim pada pembinaan dan pengembangan seni budaya masyarakat di wilayahnya. ''Pak Wahidin sangat wellcome kalau kita membutuhkan bantuan untuk mendukung kegiatan kesenian,'' kata Wowok Hesti Prabowo, aktifis seni yang kini masih menjabat ketua Dewan Kesenian Tangerang (DKT), suatu hari.

Di halaman rumah Walikota Tangerang yang luas, suatu malam di tahun 2004, juga pernah digelar pertunjukan seni dan baca puisi dengan menghadirkan beberapa artis dan penyair ternama dari Jakarta, seperti Rieke Diah Pitaloka. Wahidin juga dikenal rajin menghadiri iven-iven kesenian, termasuk yang diadakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Kebun Nanas (KKN), dan DKT -- tiga LSM seni-budaya yang banyak memotori aktivitas kesenian di kota industri itu.
Tentu, maraknya berbagai kegiatan kesenian kota petro dolar tersebut juga tidak terlepas dari peran para aktifis kesenian yang ada di lembaga-lembaga tersebut, seperti Wowok Hesti Prabowo, Iwan Gunadi, Aris Kurniawan, dan Ayu Cipta. Merekalah, yang bersama Walikota dan jajaran pemerintah kota Tangerang, seperti Sekda Hari Mulya Zain, merancang materi iven-iven kesenian besar, seperti TAF dan Festival Cisadane. ''Kerja sama kami dengan mereka selama ini sangat baik. Mereka yang merancang program dan melaksanakan kegiatan, dan kami, pemerintah kota Tangerang yang memfasiltasi,'' kata Hari Mulya Zain.
Selain untuk penggalian kekayaan seni budaya tradisional setempat, serta pembinaan dan pengembangan seni budaya modern dan konteporer yang dimiliki warga, iven-iven seni-budaya tersebut juga selalu dikaitkan dengan isu-isu non-kesenian yang lebih aktual. Festival Cisadane 2005, misalnya, dikaitkan dengan isu lingkungan dan penyelamatan kali Cisadane dari pencemaran. Maklum, sungai yang membelah kota industri itu makin dicemari limbah pabrik.
Sementara, TAF 2006, bulan lalu, mengangkat isu antikekerasan terhadap anak. Karena itu, iven kesenian yang digelar di Pusat Pemerintah Kota Tangerang dan Gedung Kesenian Tangerang (Modernland) itu pun dikemas dalam tema Antikekerasan terhadap Anak dalam Bingkai Kesenian Indonesia. Dan, tema itu pula yang diangkat ke seminar.

Tema itu dipilih, menurut ketua panitia TAF 2006, Ayu Cipta, karena saat ini makin banyak adegan kekerasan terhadap anak terhidang ke masyarakat, baik melalui pemberitaan di media massa, tayangan televisi, maupun dalam bingkai kesenian, seperti film-film kartun. ''Tiap hari, kita dengan mudah menemukan pameran kekerasan di banyak film televisi, termasuk film kartun,'' kata Ayu Cipta.
Seruan antikekerasan terhadap anak melalui iven kesenian itu pun disambut antusias oleh Wahidin Halim. ''Jangan sampai kita melihat lagi korban kekerasan terhadap anak. Terlebih, tindakan itu dilakukan oleh orang tua yang seharusnya memberikan rasa kasih sayang dengan tulus kepada mereka. Anak-anak berhak mendapat perlindungan, pendidikan, dan kasih sayang dari orang tuanya,'' katanya, saat membuka TAF 2006.

Wahidin, yang membuka TAF 2006 dengan menggoreskan cat minyak pada kanvas, berharap agar seruan anti-kekerasan terhadap anak itu tidak hanya menjadi seruan moral, tapi dapat menjadi sikap untuk berhenti menggunakan kekerasan dalam keluarga. Melalui iven yang digagas oleh DKT itu, Wahidin berharap penerapan nilai-nilai seni, budaya, dan agama yang baik akan dapat mendukung perwujudan perilaku dan akhlak manusia yang berbudi pekerti luhur. Sehingga, kesinergisan itu akan mendukung visi pembangunan akhlakul karimah di Kota Tangerang.
Berbagai acara menyemarakkan TAF 2006, seperti pameran seni rupa dan lelang lukisan, pergelaran wayang golek, pentas seni anak, serta perkemahan teater anak-anak. Tidak kurang dari 60 pelukis Tangerang memamerkan karya-karya terbaik mereka dalam iven yang digelar untuk memperingati HUT ke-13 Kota Tangerang tersebut. Sebagian besar lukisan yang dipamerkan bertema antikekerasan terhadap anak.
Pada penutupan TAF, beberapa lukisan dilelang, dan 50 persen hasilnya akan disumbangkan kepada anak-anak korban kekerasan. Artis yang juga politisi, Marisa Haque, sempat membeli sebuah lukisan yang dipamerkan. ''Selaku seniman lukis, kami tidak hanya mimikirkan kepentingkan pribadi dalam berkarya, tapi juga orang lain, termasuk anak-anak korban kekerasan,'' kata Ketua Komite Senirupa DKT Achris Muarif.
Wahidin Halim: Kebebasan Berekspresi tetap Dijaga
Hampir bersamaan dengan Tangerang Art Festival 2006, Walikota Tangerang Wahidin Halim meluncurkan Perda Nomor 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dan Perda Nomor 7 tahun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Perda Nomor 8 yang dimaksudkan untuk membersihkan Kotamadya Tangerang dari kemaksiatan itu sempat mendapat reaksi cukup keras dari kalangan seniman, karena dikhawatirkan akan membatasi kebebasan berekspresi dan aktivitas perempuan dalam kesenian yang umumnya dilakukan di malam hari.
Namun, Wahidin menjamin, kebebasan berekspresi di bidang kesenian tidak akan terganggu, karena masyarakat Tangerang masih bebas melakukannya di siang maupun malam hari. ''Asal tidak melampaui batas dan dilakukan dalam koridor nilai-nilai moral dan agama, silakan saja. Tidak akan dilarang,'' katanya. ''Yang dilarang itu kan pelacuran dan minuman keras. Bukan kesenian. Jadi, para seniman tidak perlu cemas,'' tambahnya.
Wahidin juga menjamin tidak akan terjadi salah tangkap, meskipun ada razia untuk menegakkan Perda tersebut. Apalagi, Perda itu akan segera dilengkapi Juklak Lapangan, sebagai pegangan bagi para petugas ketertiban. Jadi, imbaunya, warga tidak perlu resah dan tak perlu takut keluar malam. ''Kalau memang bukan pelacur, kenapa mesti takut,'' katanya.(ahmadun yh )

SAJAK-SAJAK CINTA AYU CIPTA

Perjalanan Sunyi

Berderap langkah rebana
gemerincing tasbih beradu takbir
memuja-Mu, memuja-Mu dengan tangis rindu
seruling jiwa merambat hati
penuh cinta tak sampai kepada-Mu
aku berserah dalam lamunan panjang nir logika
aku dikalahkan matahari yang cintanya ikhlas terbagi
clarinet sayat hatiku nan rindu
kepada Rabbku Qudus aku menyimpan tangis
yang kutanam sejak kelahiranku
kupasrahkan jiwa ini ya Tuhan
dengan tasbihku yang kuyu disepuh debu
aku terperangkap cahaya maya
Ya Rabb, inginku berteduh di balik jubah-Mu
clarinet...menyapa
bayang malaikat subuh
menghantar hingga ke pintu-Mu
aku tak hendak berpaling
aduuuh!
aku tersandung keinginan tak berbentuk
angin oh angin tiadalah kiranya rasa ingin
menghampar di atas sajadah yang tlah lama kutinggalkan
memeluk malam, memeluk bintang jatuh
dan mengejar matahari hingga ke perbatasan malam
terkapar aku dalam deru
dan raungan jiwa yang paling rahsia
matahari menghantam kesunyian di pinggir pantai-Mu
mengaduh aku saksikan secuil bulan sabit
aku menyapa malam dan gemintang
dan jua awan putih nan lembut
aku mengadu dalam diam
dalam arus kebahagiaan
tersanjung di dalam damai surga-Mu

Kenanga, Oktober 2005-2008


Jika Dunia Tanpa waktu
:nem
Jika dunia tanpa waktu apa jadinya kehidupan?
mungkin kita tidak akan mengenal dua kutub
mempertautkan utara dan selatan
dimana laki-laki dan perempuan bertemu,
kemudian bercinta di bawah sengatan matahari
pun berpelukan dalam bekunya gunung es
Andaikan dunia tanpa suara
maka tak terasa indah desir tawamu yang serupa angin
membawa kesejukan menerpa dedaunan cedar dan cemara
tak pula bisa dirasakan kehangatan kepakan sayap garuda
dan kereta kayu yang melintasi rel-rel panjang tanpa batas
Di dunia sapaan cinta tak terucapkan
mulut laki-laki terkunci,
tercekat diantara lidah dan gigi-gigi
yang gemeretak beradu hanya sebatas keheningan
yang mampu mengungkapkan perasaan itu
dengan isyarat-isyarat yang tak terkatakan,
kecuali mata batin yang beradu di dalam relung paling dalam
dan sembunyi di ceruk-ceruk karang degup nafas kita
dengan begitu,
perempuan akan menyerah
pada keheningan yang diciptakan laki-laki
tenggelam dalam rasa sunyinya.

Kenanga, November 2001-2008


Jalan Penyebrangan

Daun-daun menunas pada ranting
bertahan pada dahan
menguatkan pohonan
kemudian menaungi segala kehidupan
Tentang cinta,
seperti pohon cedar
membagi kasihnya kepada daun,
ranting, dan dahan juga akar
Sedang kematian dan cinta bertautan
ia akan datang menggandeng lenganmu
pun aku dan siapapun
ke sebuah pelaminan abadi
Andaikan aku menjadi pengantin itu
akan kubawa serta
angsoka merah perlambang cinta
yang membuat hidup berarti
Tapi aku akan memilih jalan penyeberangan
melintasi segala ruang
kembali kepada-Nya dengan ketenangan
tanpa membawa sedikit rasa cinta
yang pernah tumpah di jalan-jalan,
kecuali birahiku bersua dengan Tuhanku
dengan segala rasa cintaku.

Kenanga, November 2001-2008


Mimpiku Bintang-Bintang

:yang
Mimpiku jalanku
menuju kesetaraan bintang-bintang
mawar Cina yang kau hantar di gerbang malam
menemu ujung pagi
cintaku berurai cahaya
berharap untuk cintaku merdeka

Pantai Anyer, September 2004-2005


Dari Tanah Meluruh ke Tanah

Jiwa terpisah dari raga
seperti dedaunan dan bebungaan
rontok ditohok angin
musim tak kenal daun tanggal segar atau layukah?
ia tak memilih bunga yang digugurkan
pernah mekar atau masih kuncup
jika waktunya tiba
manusia tak kenal lagi titah
Maka kematian tak kan meninggalkanmu
ia seperti kerangka besi
memerangkap keras mengunci baja
ia tembok bagi jiwa resah
mengurung tanpa memberi celah
ia seperti sebuah dinamit
menunggu waktu untuk meledak
ia seperti puisi
menjadi indah dalam kesedihan
ia seperti kekasih
menjemput dan menggandeng tanganmu
menuju pelaminan abadi
seketika itu gemuruh megatruh dilayatkan
mengiring jasad kembali ke muasalnya
dari tanah meluruh ke tanah

Semarang-Tangerang 2008

Tentang Ayu Cipta

Tentang 'Ayu Cipta'

Ayu Cipta, nama pena-ku di dunia jurnalistik. Publik sastra dulu pernah mengenalku dengan nama Budi Tunggal Rahayu. Nama itu tercantum dalam setiap aku mempublikasikan puisi. Sejumlah puisi tercatat masuk dalam antologi bersama. Seperti Negeri Poci, Rumah Tanpa Nomor, Jentera Terkasa, Resonansi Indonesia, Cisadane 2, Bisikan Kata Teriakan Kota dan Maha Duka Aceh. Puisi lainnya juga dimuat di majalah Bahana (Brunei Darussalam), Republika, Wawasan. Kini menulis puisi masih aku lakukan meski tak sempat lagi mempublikasikan lewat koran atau membacakannya dari panggung ke panggung.

Duniaku (sementara) membuat laporan berita untuk sebuah media nasional dan ngurus tiga anak: Mohammad Gilang Narasrestha Candraditya Ciptabudi, Journalist Kafka Nur Bagaskara Nareswara Ciptabudi dan Nur Aurora Sang Kinanthi Satyanagri Nareswari Ciptabudi, buah cintaku dengan Cipta Adi. Meski keinginan kembali membaca puisi itu tak lekang, kini imajiku tersimpan dalam ruang jiwa dan menunggu untuk meledak.
Aku anak semata wayang (ontang-anting), lahir dengan nama pemberian orangtua Budi Rahayu. Nama itu untuk mengenang tempat lahirku lewat bedah caesar di RS Bersalin Budi Rahayu, Magelang. Aku tumbuh di sebuah kota kecil, Temanggung beralam indah dan ijo royo-royo, kota yang kerap menyabet piala Adipura. Dikenal dengan kota tembakau karena di sana masyarakatnya mayoritas bertani tembakau. Letaknya berpuluh kilometer dari Semarang Jawa Tengah (tak sulit mencari dalam peta). Aku hanya anak seorang petani cengkih bernama Mudjo Sumedi (alm) dan Ayemi Yasri, seorang pegawai negeri yang tlah pensiun. Masa kecilku hingga sekolah menengah pertama (SMP) aku habiskan di Desa Gunung Payung dan Candiroto.

Menginjak sekolah menengah atas (SMA) aku menempuhnya di Temanggung, ibukota kabupaten. Karena aku gandrung dengan bahasa, aku memilih jurusan bahasa (A4) di SMAN 3 Temanggung, Mungseng. Tiga tahun aku belajar, bermodalkan peringkat 1-5 besar di kelas bahasa, aku lolos tanpa tes masuk Universitas Diponegoro Semarang. Lagi-lagi aku memilih jurusan Sastra (Indonesia).
Di kampus Sastra Pleburan yang dikenal dengan sebutan 'Kampus Demonstran' aku mulai mengenal aksi unjukrasa, teater dan majalah kampus sastra (Hayamwuruk). Pertama kali ikut aksi demonstrasi diajak kakak tingkat Aan Rusdianto (Partai Rakyat Demokratik)-pimpinan Budiman Sudjatmiko). Aku bolos kuliah Filologi. (Filologi berasal dari bahasa Yunani philein, "cinta" dan logos, "kata". Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip). Demo pertamaku cukup jauh dari Kota Semarang, di IAIN Salatiga.
Sejak itu aku kecemplung dalam aktivitas kampus yang cukup melelahkan. Hampir tak pernah aku lewatkan aksi unjukrasa. Aku tak asing dikejar aparat (polisi) yang bawa pentungan. Aku sudah paham selalu di-intel-i setiap membaca puisi tentang 'perjuangan mahasiswa'. Aku pernah mengadvokasi puluhan buruh yang ikut berdemo. Pokoknya demo adalah menu istimewa diluar kuliah.
Suatu hari wajahku muncul di koran nasional sedang membaca puisi di Gedung DPRD Semarang (gedung Intan), wah gemetar, takut dimarahi orangtua. Tapi alhamdulillah tak pernah ada penyesalan sampai sekarang tentang apa yang sudah kulakukan. Belakangan aku mengenal aktivis PRD seperti Petrus, Rahardjo Waluyo Djati dan Aan pernah diculik dan disiksa zaman rezim Orba, Fransisca Ria Susanti. Dengan Santi aku pernah kos bareng., kabarnya ia menjadi koresponden media nasional di Hongkong. Aku juga kenal baik Widji Tukul (penyair) yang hingga kini tak tahu rombanya. Beberapa kali pernah bersama-sama Tukul membaca puisi di Tegal, Solo dan Semarang. Saya ingat ketika ada temu penyair di Tegal, Tukul baca puisi disuruh turun dari panggung. Tapi semua penyair; Sosiawan Leak, Radar Panca Dahana, Tuti Gintini, Wowok Hesti Prabowo, Widjati, dll mendukung si penyair ngetop dengan puisi Bunga dan Tembok dan ucapan 'hanya ada satu kata, Lawan!' agar tidak turun dari panggung.
Tak hanya demo aku pernah aktif di Teater Emper Kampus (Emka). Beberapa kali bermain dan menyutradarai naskah Petang di Taman karya Iwan Simatupang. Di Emka aku belajar mengerti kesenian. Eks Emka kini sudah mulai cukup dikenal seperti Dody Ardiansyah kini wartawan Antara. Puluhan tahun tak berjumpa, aku tak sengaja ketemu lagi Dody di PT Panarub. Ketika sama-sama meliput Presiden SBY di pabrik sepatu itu. Adapula Auno Soka (pelawak) yang pernah ikut API di televisi swasta. Nah aku tak sengaja ketemu Auno di Polres Metro Tangerang. Dia bersolidaritas ketika Jarwo Kwat Wakil Presiden Republik Mimpi itu ditahan.
Adapula Benny Benke, satu dari sejumlah wartawan yang menggarap film Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film ini bercerita tentang adanya orang-orang Rusia yang begitu setia memerhatikan dan mempelajari Indonesia meski terhalang tembok pembekuan hubungan diplomatik. Dengan Benny aku pernah ketemu sekali waktu di satdion Benteng. Benny kini menulis untuk Suara Merdeka.
Tak hanya teater kampus, aku kemudian bergabung dengan Teater Kompor. Sekali waktu pernah mementaskan Repertoar Tiga Kali Bersama Satu Kali Sendiri di joglo IKIP Semarang bersama D. Erisiana Dewi dan Kuswanto dengan sutradara Agung Wibowo. Pernah pula bersama Pipiek Isfianti, Fitri Lambang (Fitri Astuti Lestari) kini aktivis perempuan di Semarang, D Erisiana dan Dianing Widya Yudhistira (kini-novelis dan penyair, istri dari penyair dan wartawan Tempo Mustafa Ismail tinggal di Vila Pamulang) mendirikan Teater Umbu. Sempat beberapa kali mementaskan lakon Terdampar Slawomer Mrozek dan Beranda 'August Stinberg."
Aktivitas di luar kampus nan padat itu tak membuat aku keteter kuliah. Pada 1998 aku lulus dengan hasil yang menurutku memuaskan. Sesuai jurusanku aku mengambil skripsi novel Budi Darma, berjudul Ny. Talis. Ada pengalaman menarik tentang novel ini dan sosok Ny. Talis dalam novel ini yang secara khusus disampaikan Pak Budi Darma melalui surat kepadaku. (tunggu cerita berikutnya...jangan ketinggalan)