Minggu, 30 Maret 2008

Dewi Persik dan Industri Pantat

Dewi Persik dan Industri Pantat

DEWI Persik telah dianggap ‘racun’ oleh sebagian orang. Wajar jika WH (Wahidin Halim) Wali Kota Tangerang ‘tidak suka’ dengan para penyanyi berpamer udel, dan berpakaian tak sopan. Lalu iapun akan mencekal/melarang jika si Persik tak mengubah gaya busana jika manggung di kota yang bermotto Aklakul Karimah itu.

Wahidin suatu ketika pernah bercerita kepada kami (wartawan) termasuk saya bahwa ia prihatin melihat warga di kampung-kampung terbuai oleh virus dangdut dengan para penyanyi yang berbusana seronok. Lebih-lebih para penonton, diantaranya tukang ojek dan tukang becak itu saweran dari hasil memeras keringat sepanjang siang.

"Saya bukan anti dangdut, musik itu indah. Tapi busananya mbok ya yang sopan," kata Wahidin.

WH sadar tak dapat mengontrol tayangan televisi. Ia hanya merasa perlu mengurusi warga yang di kampungnya keblinger dengan goyangan pantat. Adik Menteri luar negeri Hasan Wirayuda ini memang dikenal tegas dalam setiap kebijakannya. Sebagai jurnalis, ini bukan keberpihakan saya kepada wali kota (yang sebentar lagi) konon mau mencalonkan diri. Tetapi sebagai warga kota Tangerang sepantasnya saya juga ikut berperan aktif untuk sama-sama menjaga kota ini dari derasnya industri pantat.

Emha Ainun Nadjib dalam: Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua, Kompas - Minggu, 04 Mei 2003 mengatakan, "industri tidak berpikir baik atau buruk, akhlaqul karimah atau sayyiah. Industri tidak ada kaitannya dengan Tuhan, surga dan neraka. Industrialisme bekerja keras dalam skema laku atau tak laku, marketable atau tidak marketable, rating tinggi atau rendah. Bad news is good news. Kalau yang laku ingus, jual ingus. Kalau yang ramai di pasar adalah Inul, jual Inul."

Dan pada kenyataanya setelah Inul lalu muncul secara menjamur biduan yang menjual pantatnya. Ada goyangan gergaji, goyang kayang, goyang ngecor, dan sederet goyangan yang sangat mungkin ditonton anak-anak kecil. Wahidin mengatakan, "bagaimana saya tidak prihatin, anak-anak kecil di kampung melihat penyanyi dangdut memantati muka kita, lalu bergaya menjilat-jilat tiang,"katanya.

Saya setuju dengan Emha bahwa, sebagai orang yang hidup dengan pandangan agama, kita bisa mengambil wacana sujud shalat untuk menilai (Inul) pun Dewi Persik. Tuhan menyuruh Muslim bersujud. Dalam sujud pantat kita letakkan di tataran tertinggi, sementara wajah di level terendah. Wajah itu lambang eksistensi kita, icon kepribadian kita, dan display dari identitas kita. Kalau bikin KTP tidak dengan foto close up pantat, melainkan wajah.

Ritus sujud menjadi semacam metode cermin untuk menyadari terus-menerus bahwa kalau tidak hati-hati dalam berperilaku, manusia bisa turun martabatnya dari wajah ke pantat. Ketika bersujud yang diucapkan oleh orang shalat adalah "Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi". Jadi jelas sujud itu memuat substansi martabat atau derajat manusia hidup. Dan kita pun perlu cemas orang bukan hanya tidak takut martabat kepribadiannya merosot. Banyak orang bahkan mendambakan pantat dan membayar untuk dipantati.

Mungkin Persik tadi hanya satu dari berpuluh penyanyi atau biduan yang maaf mengumbar dada dan pantat. Sudah sewajarnya kalau ibu-ibu juga bapak-bapak harus marah. Anak-anak kita setiap hari secara tak/sengaja menghirup racun televisi.

Saban pagi, anak-anak kita dan sarapan pagi keluarga kita berhidangkan infotaimen. Jika ayah dan bunda pada pukul 07.00 ngantor, dan keluar rumah, maka anak-anak kita hanya diasuh oleh pembantu, dan ibunya berganti televisi. Dan sejak itu anak-anak kita mulai belajar membantah, menghardik dan kadang (maaf) memaki orang tuanya. Jadi siapa yang bersalah?

Anak adalah peniru yang ulung, jadi jangan ajarkan penderitaan kita kepadanya. Maka mari kita para orangtua belajar menjadi bijak dan sama-sama belajar menjadi arif. (ayuchi)

Tidak ada komentar: