Senin, 10 Maret 2008

'Kesurupan' itu Sesungguhnya Bifid Delusion


Erdiana tiba-tiba saja menjerit dan jatuh pingsan. Teman-teman tingkat 9 (3 SMP) di rombel (rombongan belajar) 7 terkejut. Pingsan Erdiana membuat kawan-kawanya iba, dan menolong.

Kepanikan terjadi di kelas itu, guru-guru berdatangan, dan kemudian membawanya ke ruang guru. Begitu siuman, Erdiana masih saja berteriak. Kepiluan ini menyeret sejumlah teman-temannya 'ikut' dalam peristiwa serupa.

Jadilah seisi sekolah sebuah SMP Negeri di Poris Indah geger. 'kesurupan' adalah kata-kata yang sangat mudah menjalar ke telinga para siswa. Tak ayal pihak sekolah memanggilkan dukun yang konon bisa mengobati para siswa. Tercatat tak kurang 15 anak 'tertular virus kesurupan' Erdiana.
Sejatinya apa yang dialami Erdiana dan sejumlah teman sekolahnya itu pada Februari 2008 lalu? Pakar Psiko Religi Therapy di Tangerang, Prof. Dr. Erry Hayatullah Al-Rasyid PhD menolak peristiwa seperti yang dialami siswi di sekolah itu sebuah 'kesurupan'. Dan 'kesurupan' yang menjalar itu tegas-tegas bukan fenomena, seperti yang lumrah orang menyebut.
"itu adalah bifid delusion atau mengalami halusinasi," kata Erry kepada Ayuchi.

Halusinasi yang dimaksud adalah adanya pola pemikiran yang tersugesti luar biasa sehingga kekuatan sugesti itu seolah-olah si pelaku itu melihat atau mengalami seolah-olah nyata.

Itu terjadi kata Erry, karena adanya benturan psikologis atau sosial seperti ketakutan dan tekanan terhadap si anak tersebut. Manifestasi dari khayalan ini adalah mengeluarkan perkataan yang bukan-bukan. Halusinasi tersebut benar-benar dapat (seolah-olah) didengar, dilihat, bahkan dirasakan oleh si penderita.

Seringkali halusinasi mengarahkan tindakan penderita, memperingatkan tentang suatu bahaya atau memberitahu dia apa yang harus dilakukan. Bahkan tak jarang si penderita asyik bercakap-cakap dengan para tokoh yang muncul dalam halusinasi ini. Seperti murid-murid di SMP itu juga ada yang bilang 'di pojokan! itu di pojokan' dan berdialog dengan 'sosok' dalam halusinasinya.

Benar saja. Setelah ditelisik, rupanya Erdiana datang dari keluarga broken home. Wakil Kepala sekolah, Amsir mengatakan gadis itu kecewa karena melihat ayahnya menikah lagi.
Lalu yang lain, meski dengan kecemasan dan tekanan sosial berbeda, mereka juga mengalami benturan psikologis yang nyaris sama.
Ada yang terus-menerus dimarahai orang tuanya, ada yang diancam kalau tak lulus sekolah akan dikirim ke kampung halamannya di Manado dan sejumlah konflik kehidupan si murid di luar sekolah yang kemudian menyeret mereka dalam arus 'penderitaan' seperti yang dialami Erdiana.

Erry Al-Rasyid mengatakan," masih untung mereka tidak membunuh,"ujarnya.

Jika kecemasan-kecemasan ini dibangun terus-menerus dan dibiarkan maka bukan tidak mungkin menjadi piramid penderitaan yang suatu saat bisa mengalami scizophrenia.

Schizophrenia merupakan penyakit otak yang sanggup merusak dan menghancurkan emosi. Selain karena faktor genetik, penyakit ini juga bisa muncul akibat tekanan tinggi di sekelilingnya. Menurut psikolog Prof. Dr. Dadang Hawari, dikutip dari Sinar Harapan, jumlah penderita schizophrenia di Indonesia adalah tiga sampai lima per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di kota besar. Ini terkait dengan tingginya stress yang muncul di daerah perkotaan.

Schizophrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini diyakini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, jenis neurotransmitter yang lain, juga berperan dalam menimbulkan gejala schizophrenia.


Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen.

Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen. Data yang ditunjukkan pusat data schizophrenia AS, tiga perempat penderita schizophrenia berusia 16-25 tahun.


Tapi sesungguhnya schizophrenia dapat disembuhkan. Anda tahu John Forbes Nash Jr. Peraih hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 1994, adalah seorang penderita schizophrenia. Kisahnya kemudian difilmkan oleh sutradara Hollywood Ron Howard dalam sebuah film A Beatiful Mind.

Film yang dibintangi Russell Crowe yang memerankan John Nash. Meski halusinasi itu masih sering melintas dalam batok kepalanya, tapi toh, berkat bantuan istri, Alicia Nash yang diperankan Jennifer Connelly dan kawan-kawan dekatnya.Pada akhirnya John Nash mampu membuktikan kepada dunia bahwa penderita schizophrenia bisa disembuhkan. (Ayuchi)

1 komentar:

Welcome to Multa's News Site mengatakan...

taWah bagus nih warna blog nya yu. Ini kisah nyata yang dikemas dalam bentuk tulisan sastra ya?
Memang belum satupun foto yang dipostiong ke blogmu. Kalau begitu nanti tak ajari caranya.